Minggu, 09 Agustus 2009
Gerakan Pertanian Ramah Lingkungan Melalui Pola Tanam Padi Organik (SRI) di Kab.Tasikmalaya
Anugerah Jurnalistik & Penulis Muda Pertanian 2009
Gerakan Pertanian Ramah Lingkungan Melalui
Pola Tanam Padi Organik (SRI) di Kab.Tasikmalaya
Oleh: LUKMAN NUGRAHA
SMA Negeri 9 Tasikmalaya Kelas: X
Jl.Leuwidahu No. 61 Indihiang
e-mail: redi_mulyadi2000@yahoo.co.id
No.Rek: 909.36440.99 Bank MUAMALAT a/n Redi Mulyadi
Kota Tasikmalaya 46151
- 1 -
DALAM pembangunan pertanian berkelenjutan, maka keberadaan dan kelestarian sumber daya merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karenanya bahwa pengenalan, pemahaman dan pengetahuan tentang ekologi tanah dan interaksinya dengan komponen ekosistem lainnya merupakan persyaratan utama untuk menuju sistem Pertanian Ramah Lingkungan Berkelanjutan.
Selama ini, bahwa sistem pertanian yang digarap para petani Indonesia dan berkembang khususnya pada ekologi lahan sawah, cenderung lebih banyak mengandalkan pada berbagai masukan dari luar (kimia atau an-organik), tanah sebagai tempat berpijaknya budidaya tersebut, memang masih belum banyak perhatian, dan ditempatkan bahkan diperlakukan sebagai suatu ekosistem.
Apabila fenomena di atas terus berlanjut, maka dikhawatirkan akan menyebabkan semakin kompleksnya masalah yang dihadpi lingkungan, yang akan memerlukan ongkos sangat mahal dalam memperbaikinya
Karena itu tak mengherankan, bila climat change (perubahan iklim) yang sangat ekstrim akibat rusaknya/hilangnya sebagian hutan dunia dan perilaku manusia yang berlebihan dalam menggunakan zat kimia berbahaya yang menyebabkan global warming (pemanasan global) sangat berpengaruh langsung pada pelaksanaan usahatani, yakni dengan keringnya sumber-sumber mata air dan tidak menentunya musim seperti musim hujan yang singkat dan lainnya.
Dengan demikian, baik secara langsung atau tidak langsung, tentu saja hal tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap ketersedian pangan dan harga pengan dunia yang cenderung terus meningkat dan apabila Indonesia harus mengimpor pangan dari luar negeri maka sangat menguras cadangan devisa negara. Padahal, selama ini Indonesia dikenal sebagai negara agraris, yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai kaum petani.
Namun, hasil yang diperhatikan pelaku sejarah dari sejak tahun 2001 sampai sekarang terutama di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat sebagai acuan, ternyata model Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) dan pola tanam padi organik yang lebih dikenal dengan sebutan System of Rice Intensification (SRI) telah mampu menumbuhkan, membangkitkan dan mengembangkan kearifan lokal, sehingga kedua sistem tersebut dapat menyeimbangkan,menyerasikan dan menyelaraskan dua kepentingan
- 2 -
yang kita harapkan, yakni aspek peningkatan produksi dan aspek pengelolaan sumber daya lahan.
Penulis sangat salut terhadap kebijakan Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya, dimana Bupati Drs.H.Tatang Farhanul Hakim melalui Kepala Dinas Pertanian Ir.H.Henry Nugroho MP dalam menggalakan pola tanam padi organik atau SRI yang ramah lingkungan, dengan menggerakkan para petugas PPL di tiap desa untuk memberikan penyuluhan kepada anggota kelompok tani-kelompok tani dan petani agar mendukung program tersebut.
Dalam pola tanam padi SRI yang dinilai ramah lingkungan , karena tidak menggunakan bahan kimia baik dalam pemupukan maupun upaya pemberantasan hama-penyakit. Selain ramah lingkungan, pola tanam padi SRI ini ternyata hemat biaya produksi karena benih padi yang ditanam hanya satu butir, pemupukan yang digunakan pupuk kompos/organic yang murah harganya, kemudian pemberantasan hama-penyakit tanaman dengan pestisida ‘alami’ nabati.
Walau demikian, hasil pertanian dengan pola tanam padi SRI sangat menguntungkan bagi para petani itu sendiri, hasil panennya bisa mencapai 9-11 ton per hektar. Sedangkan dengan cara yang umum dilakukan petani biasanya hanya menghasilkan sekitar 6-7 ton per hektar. Juga harga padi (beras) SRI cukup mahal.
Bahkan ada kabar gembira, kini para petani padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya sejak awal bulan Agustus 2009 ini sudah mulai mengekspor hasil panennya ke luar negeri, khususnya ke Amerika dan Malaysia sebanyak 40 ton beras atau dua konteiner, masing-masing Negara satu konteiner. Padahal, untuk bisa mengekspor beras tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan khusus yang sangat ketat, terutama memperoleh sertifikasi organik dari badan sertifikat organik internasional yaitu Institut for Marketecology (IMO) yang bermarkas di Swiss. Dengan memiliki sertifikasi organik dari IMO, maka petani padi SRI di kabupaten ini sudah dapat mengekspor padi ‘organik’ ramah lingkungan ke berbagai negara.
Kepala Dinas Pertanian Kab.Tasikmalaya Ir.H.Henry Nugroho MP kepada surat kabar local menjelaskan, bahwa dari 335 hektar luas lahan
pertanian untuk penanaman padi organik yang dipersiapkan, ternyata baru seluas 150 hektar yang sudah lolos proses sertifikasi dan memiliki sertifikat organik dari IMO Swiss. Sedangkan sisanya yang seluas 175 hektar masih dalam masa sanggah dan belum dinyatakan seratus persen
-3-
organik karena airnya diduga masih tercemar oleh pupuk kimia dari sawah lain.
Hal yang pasti, dengan memiliki sertifikasi organik dari IMO sehingga bisa mengekspor beras ke Amerika dan Malaysia khususnya, merupakan peluang emas bagi petani padi SRI untuk meningkatkan produktivitas hasil panennya dan bagi Pemkab Tasikmalaya sendiri merupakan suatu keberhasilan dalam meluncurkan program Gerakan Pengembangan Pembangunan Pertanian Ramah Lingkungan melalui Metode SRI.
*******
Lantas, bagaimana para petani khususnya di Kab.Tasikmalaya mengembangkan usahatani tanaman padi melalui pola tanam ‘SRI’ yang ramah lingkungan tersebut?
Penulis memperoleh banyak bahan tulisan mengenai keunggualan pola tanam padi SRI baik dari para petani, petugas PPL dan THL TBPP terutama dari Ir.Yadi Rustiadi selaku Kepala BPP Kecamatan Sodonghilir Kab.Tasikmalaya.
Ir.Yadi Rustiadi menjelaskan bahwa SRI adalah teknik budidaya padi
yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah
pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil
meningkatkan produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di beberapa
tempat mencapai lebih dari 100%.
Adapun prinsip-prinsip budidaya padi organik metode SRI antara lain:
1) Tanaman bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss)
ketika bibit masih berdaun 2 helai; 2) Bibit ditanam satu pohon perlubang
dengan jarak 30 x 30, 35 x 35 atau lebih jarang; 3) Pindah tanam harus
sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus hati-hati agar akar
tidak putus dan ditanam dangkal; 4) Pemberian air maksimal 2 cm
(macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah (irigasi
-4-
berselang/terputus); 5) Penyiangan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang
2-3 kali dengan interval 10 hari; 6) Sedapat mungkin menggunakan
pupuk organik (kompos atau pupuk hijau).
Keunggulan metode SRI di antaranya : 1) Tanaman hemat air,
Selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air
max 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode
pengeringan sampai tanah retak ( irigasi terputus); 2) Hemat biaya,hanya
butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tidak
memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam kurang dll; 3) Hemat
waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hss, dan waktu panen akan lebih awal
4) Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha ; 5)
Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan
dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan Mikro-
oragisme Lokal), begitu juga penggunaan pestisida.
TEKNIK BUDIDAYA PADI ORGANIK METODE SRI
1. Persiapan benih
Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air
garam yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila
dimasukkan telur, maka telur akan terapung.Benih yang baik untuk
dijadikan benih adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut.
Kemudian benih telah diuji direndam dalam air biasa selama 24 jam
kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian disemaikan pada
media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat
ukuran 20 x 20 cm (pipiti). Selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari
benih padi sudah siap ditanam
2. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah Untuk Tanam padi metode SRI tidak berbeda
dengan cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu
dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi
tanaman, terhidar dari gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu
sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk
struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah
mengontrol dan mengendalikan air.
3. Perlakuan pemupukan
Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan
tanah dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan
pemanenan. Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan
sistem konvensional adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan
-5-
sampai 2 musim taman. Setelah kelihatan kondisi tanah membaik maka
pupuk organik bisa berkurang disesuaikan dengan kebutuhan.
Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan tanah
kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.
4. Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus
menerus, cukup dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan
dilakukan hanya untuk mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya
pengelolaan air pada sistem padi organik dapat dilakukan 3 sebagai
berikut; pada umur 1-10 HST tanaman padi digenangi dengan
ketinggian air ratarata 1cm, kemudian pada umur 10 hari dilakukan
penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi.
Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya,
maka dua hari menjelang penyiangan tanaman digenang. Pada saat
tanaman berbunga, tanaman digenang dan setelah padi matang susu
tanaman tidak digenangi kembali sampai panen.Untuk mencegah hama
dan penyakit pada SRI tidak digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan
pencengahan dan apabila terjadi gangguan hama/penyakit digunakan
pestisida nabati dan atau digunakan pengendalian secara fisik dan
mekanik.
5. Perbedaan Hasil Cara SRI dengan Konvensional
Kebutuhan pupuk organik dan pestisida untuk padi organik metode SRI
dapat diperoleh dengan cara mencari dan membuatnya sendiri.
Pembuatan kompos sebagai pupuk dilakukan dengan memanfaatkan
kotoran hewan, sisa tumbuhan dan sampah rumah tangga dengan
menggunakan aktifator MOL (Mikro-organisme Lokal) buatan sendiri,
begitu pula dengan pestisida dicari dari tumbuhan behasiat sebagai
pengendali hama. Dengan demikian biaya yang keluarkan menjadi lebih
efisien dan murah.
Penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim berikutnya
mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya.
Sedangkan pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik dari
musim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi
petani konvensional untuk dapat meningkatkan produsi apalagi bila
dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanam tiba.
Pemupukan dengan bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah baik
fisik, kimia maupun biologi tanah, sehingga pengolahan tanah untuk
metode SRI menjadi lebih mudah dan murah, sedangkan pengolahan
-6-
tanah yang menggunakan pupuk anorganik terus menerus kondisi tanah
semakin kehilangan bahan organik dan kondisi tanah semakin berat,
mengakibatkan pengolahan semakin sulit dan biaya akan semakin mahal.
Ir.Yadi Rustiadi menejelaskan, bahwa hasil panen pada metode SRI
pada musim pertama tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya
(metode konvensional) dan terus meningkat pada musim berikutnya
sejalan dengan meningkatnya bahan organik dan kesehatan tanah. Beras
organik yang dihasilkan dari sistem tanam di musim pertama memiliki
harga yang sama dengan beras dari sistem tanam konvesional, harga ini
didasarkan atas dugaan bahwa beras tersebut belum tergolong organik,
karena pada lahan tersebut masih ada pupuk kimia yang tersisa dari
musim tanam sebelumnya. Dan untuk musim berikutnya dengan
menggunakan metode SRI secara berturut-turut,maka sampai musim ke
3 akan diperoleh beras organik dan akan memiki harga yang lebih tinggi
dari beras padi dari sistem konvensional.
MANFAAT POLA TANAM SRI
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan sejumlah petani padi
ramah lingkungan di Kabupaten Tasikmalaya menyebutkan, bahwa secara
umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah sebagai berikut : 1)
hemat air (tidak digenang), dimana kebutuhan air hanya 20-30% dari
kebutuhan air untuk cara konvensional; 2) memulihkan kesehatan dan
kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi tanah;
3) membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli di
lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan pertisida kimia buatan
pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka; 4) membuka lapangan
kerja dipedesaan, mengurangi pengangguran dan meningkatkan
pendapatan keluarga petani; 5) menghasilkan produksi beras yang sehat
rendemen tinggi, serta tidak mengandung residu kimia; dan 6)
mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang.
Dengan demikian, pengembangan pertanian yang ramah lingkungan
melalui metode SRI sebagaimana digalakkan Pemkab Tasikmalaya dinilai
menguntungkan untuk para petani, karena produksi meningkat sampai 10
ton/ha dan harganya cukup mahal, yang kini mampu mengekspor ke
Amerika dan Malaysia. Selain itu,karena tidak mempergunakan pupuk
dan pestisida kimia, tanah menjadi gembur, mikroorganisme tanah
meningkat jadi ramah lingkungan.
Namun demikian, menurut Ir.Yadi Rustiadi dan para petani, bahwa
untuk mempercepat penyebaran metode SRI perlu dukungan dengan
kebijakan pemerintah pusat maupun daerah.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar